Bersenandung mengharap belas kasihmu..
Pandanganku yang kian hampa..
Sesuap nasi pun tak kunjung tiba..
Melihat mu aku tak peduli..
Bukan wakil rakyat tikus berdasi..
Aku memang mlarat..
Bukan seperti tikus keparat..
Yang doyan uang rakyat..
Haus harta bak lintah darat..
Masih terdengar jeritan dan tangisan..
Dari anak kolong jembatan..
Kau butakan matamu..
Kau tulikan telingamu..
Takut kehilangan harta itu sifatmu..
Takut kehilangan kehormatan pun sifatmu..
Kau lebih rela korbankan rakyat..
Hanya demi se onggok martabat..
Kau picik..
Kau pun licik..
Di kolong jembatan aku..
Di jalanan kukais keberuntunganku..
Kau tak datang aku bangga..
Tak mengenal mu pun aku lega..
Kemarin, Hari Ini, Dan Esokku
Mereka bersahabat sejak kecil walaupun kehidupan mereka bagai langit dan bumi.Sudah lama sebenarnya aku ingin membawamu ’lari’. Sejak kau masih tinggal di "istana" itu. Sebuah rumah toko bertingkat tiga dengan pagar besi yang kaku, bisu. Sudah sejak lama. Kala itu aku selalu mampir di depan rumah itu, melemparkan sebuah koran lewat pintu pagar. "Koran!" teriakku membelah pagi. Hampir pukul tujuh.
Yang pertama keluar, seperti biasanya, adalah Engkongmu. Laki-laki tua itu melambaikan tangannya kepadaku. Masih dengan balutan piyamanya.
Aku memutar sepeda bututku, tapi masih sempat melirik ke lantai tiga bangunan. Di balkon itu biasa kau berdiri, mencibirku sekilas dan membuang muka. Kau sudah siap dengan seragam sekolahmu.
Sementara aku masih harus mengantarkan koran pagi kepada lima rumah lagi. Selesai itu, aku bergegas pulang ke rumah. Mengganti bajuku dengan seragam sekolah. Sarapan seadanya dan kembali kukayuh sepeda.
"Hati-hati, Coky!" teriakan Emak dari dapur sering hanya kudengar sayup-sayup.
Aku harus segera ke sekolah, sebelum lonceng berbunyi
"SMP mana?" pernah kutanya kau sekali, saat kita berpapasan. Sungguh pertanyaan yang biasa saja, sekadar ingin tahu, mengingat aku juga masih SMP.
"Sutomo Satu," sahutmu pelan.
Sekolahmu termasuk sekolah favorit di Medan. Tidak sebanding dengan sekolahku yang biasa-biasa saja. Tapi aku bangga, karena di sekolah biasaku itu, aku selalu jadi juara kelas.
Sama seperti kamu!
"Kamu SMP mana?"
Tahun terakhir aku di SMP, kau juga menanyakan hal itu. Mungkin kau baru tahu kalau aku juga makan sekolahan. Pagi itu, ujian akhir akan dimulai. Aku takut terlambat ke sekolah, jadi sebelum kegiatanku mengantar koran pagi ke tempat langganan, aku lebih dulu memakai seragam sekolahku.
Aku menyebut nama sekolahku sekilas. Kau agak mencibir, tapi kuyakin, kau tidak bermaksud mengejek. Itu salah satu kebiasaanmu, sama seperti yang kau lakukan dari atas balkon sana bila melihat aku datang.
Hei, jangan-jangan kau selalu merindukan kehadiranku?
Meski kita seusia, meski kita berkembang bersama, tapi kehidupan kita bagai langit dan bumi. Aku Ucok Bonar Siregar, atau biasa dipanggil Coky, adalah potret kebanyakan orang pribumi di Medan, pun di Indonesia. Ayahku seorang penarik becak, sedang emakku tukang cuci pakaian.
Aku lima bersaudara, dan aku pula yang tertua. Untuk bisa sekolah, aku harus mencari biaya sendiri. Aku mengantar koran ke rumah-rumah, begitu juga dengan dua adik laki-lakiku yang lain.
Sungguh beda dengan kehidupanmu. Aku kenal papamu. Tuan Peng Si Tukang Air. Begitu julukannya. Dia yang memberi julukannya sendiri. Padahal kalau diurut-urut, dia kontraktor sumur bor yang cukup besar. Dia mempunyai tujuh mesin bor, beroperasi nyaris di seluruh pulau Sumatra. Perkebunan-perkebunan swasta maupun instansi pemerintah selalu memberikan borongan besar pada papamu.
Entah apa yang disembunyikan papamu, dia tetap saja tidak mau mengaku sebagai kontraktor, pengusaha. Dia hanya mau dipanggil Tuan Peng Si Tukang Air. Tapi siapa yang tidak mengenal kedermawanan Tuan Peng? Emakku bilang, kalau kau tidak punya uang, Coky, jangan pernah meminta kepada siapapun. . . kecuali kepada Tuan Peng!
Papamu sangat dermawan. Dia memang jarang berada di kota. Sebagian besar waktunya habis di luar, di perkebunan dan di pelosok lainnya. Dia selalu mengawasi pekerjaan anak buahnya. Bukannya tidak percaya, katanya memberi alasan. Dia hanya ingin terlibat langsung. Aku tidak tahu apakah memang itu alasan utamanya, atau dia ingin menghindari antrean orang yang ingin meminta bantuannya bila ketepatan dia berada di rumah.
Aku juga menikmati saat akah memang itu alasan utamanya, atau dia ingin menghindari antrean orang yang ingin meminta ba "Wah. . . Coky, lu bakal jadi orang hebat nanti kalau sudah besar. Pagi-pagi lu sudah kerja. Baik itu!"
Dan biasanya tidak pernah tidak terselip recehan di kantongku dari Tuan Peng Si Tukang Air.
Keluargamu hidup berkecukupan. Aku ingat, kau selalu punya kegiatan yang padat. Pagi sekolah, siang les piano, sore privat Inggris. Belum lagi kursus lainnya. Wah. . . .
"Kau akan jadi orang paling pintar," kataku suatu kali kepadamu. Saat kita sudah sama-sama duduk di bangku SMU. "Atau jadi gila!"
"Lu ngomong apa?’" matamu yang sipit mendelik. "Enak saja. Siapa yang gila? Hayo!" Kau mengangkat bukumu, akan ditimpuk padaku. Aku tertawa, melesat dengan sepeda bututku.
Kau mencibir.
Ah, persahabatan yang manis.
Keluargamu memang beda dengan kebanyakan kelurga nonpribumi - keluarga keturunan Cina- yang tinggal di Medan. Kalau mereka biasa hidup berkelompok dengan kaum nonpribumi yang lain, tinggal di kompleks yang sama, membangun rumah toko dengan gaya yang sama, pagar besi yang sama, dan bergaul antara mereka saja.
Kehidupan keluargamu memang makmur seperti umumnya kaum nonpri tersebut. Jiwa dagang pun lekat dalam kehidupan keluargamu. Tapi ada yang terasa beda. Papamu, Tuan Peng Si Tukang Air, lebih memilih membeli rumah di lingkungan yang heterogen. Aku ingat, di sebelah rumahmu adalah rumah Pak Marzuki, si urang awak, pemilik Zuki Tailor. Masih dalam satu barisan dengan rumah toko itu, tinggal kelurga Vijay, pemilik toko kain. Mereka keturunan Tamil. Di sana juga ada grosir beras Ompung Sinaga, ada Babah Liem dengan toko elektronikanya, dan masih banyak lagi.
Seperti umumnya kaum nonpri yang selalu menjadikan tempat usahanya menjadi tempat tinggal pula, maka bisa dikata, tempat tinggalmu tidak pernah sepi dari kunjungan orang, lagi pula, selain sebagai kantor kontraktor sumur bor, di lantai satu rumahmu, mamamu membuka toko kelontong.
Dan rumahmu memang tidak pernah sepi dari kunjungan orang. Orang kebanyakan yang tinggal di sekitarnya. Apakah ingin membeli keperluan, sampai yang cuma mau ngebon dan pinjam uang. Orang-orang begitu dekat dengan keluargamu, seperti dekatnya persahabatan kita selanjutnya. Kedekatan yang membuatku tidak akan melupakanmu.
Kini kita telah sama-sama dewasa . Sama-sama kuliah di Universitas Sumatra Utara. Aku di Teknik Sipil, sedang kau di Kedokteran Umum. Tapi rupanya, hidup selalu berubah.
Medan, akhir 1998
Kulangkahkan kaki dengan enggan, melewati jalanan kampus Universitas Sumatra Utara yang tidak terlalu ramai di Sabtu siang itu. Dari kampus Teknik aku menyusuri Jalan Almamater dan memotong dari Biro Rektor. Langsung melintasi kampus FKM dan tembus di Jalan Universitas.
Keluar dari pintu satu kampus, aku tidak langsung menuju halte, menunggu angkot. Aku duduk di depan Kafe Burger Mahasiswa di depan kampus Kedokteran Umum.
Aku menunggu Dewi, sahabatku yang siang ini kutahu ada keperluan ke kampus ini, meskipun dia sudah tidak kuliah lagi. Entah mengurus apa, tapi aku harus menunggunya, karena mungkin hanya saat ini kami punya kesempatan bicara. Setengah jam menunggu sambil menikmati teh botol, tiba-tiba sosok itu muncul.
Badannya tinggi, ramping. Rambut sebahunya yang lurus legam dimainkan angin siang yang kering. Siang itu kulit putih mulusnya dibungkus kemeja berwarna krem dan padanan rok panjang hitam. Dia berjalan tenang. Mata sipitnya langsung tertuju ke tempatku menunggu.
"Kau sehat?" tanyaku menjejeri langkahnya. Dewi diam saja.
"Mau langsung pulang?" tanyaku ketika sudah sampai di halte.
Gadis itu tidak menjawab juga. Bukan hal baru. Akhir-akhir ini dia memang sering tidak menjawab pertanyaanku. Enggan. Malas, atau tidak sudi.
Biasanya aku sendirilah yang menjawab pertanyaanku. Menebak-nebak apa yang ada di pikirannya.
"Aku mau makan siang di tempat biasa. Kau mau ikut?" tanyaku.
"Aku ada urusan," sahut Dewi. "Aku perlu beberapa buku . Tapi mungkin aku akan ke Titi Gantung saja. "
Titi Gantung adalah tempat penjualan buku-buku bekas. Pelajar atau mahasiswa pas-pasan selalu memburu tempat itu. Tempat yang unik. Untuk mencapainya jika dari lapangan Merdeka, Medan kita harus melewati jembatan - titi - gantung dekat stasiun Kereta api Besar Medan.
"Kau akan ke sana?" tanyaku heran. Untuk apa dia mencari buku lagi? Bukankah minggu depan dia akan diwisuda?
"Baiklah, pukul berapa?" aku tidak bisa menebak tujuannya.
Dewi diam, tidak menjawab. Kali ini sudah bisa kutebak jawabannya. Dia tidak ingin kutemani. Dia tidak ingin bersamaku. Ah. . . mungkin dia berpikir, buat apa bersama denganku, kalau toh orang tetap menganggap kami berbeda.
Dewi. . . . tahukah kamu tentang hatiku?
Medan, Mei 1998
Seperti mimpi saja melihat kebrutalan ini terjadi. Mula-mula aku tidak mengerti. Pagi itu aku pergi ke kampus seperti biasa dengan ankutan kota Beberapa ruas jalan dijaga ketat polisi. Rupanya telah terjadi keributan, aksi massa.
Pembakaran dan perusakan terjadi di mana-mana. Penjarahan juga. Barisan orang dengan hasil jarahan berbondong-bondong. Sulit dimengerti, mereka membawa berkarung-karung beras, mi instan dan bahan pokok lainnya. Bahkan springbed pun kelihatan dibopong ke rumah mereka. Toko-toko di sepanjang jalan protokol menjadi sasaran massa, terutama toko-toko milik keturunan Cina. Sehingga tidak heran kalau kaum pribumi tegas-tegas menulis di pintu toko mereka: "MILIK PRIBUMI!" Atau "KEPUNYAAN SINAGA!" Atau "JAWA ASLI!" atau "HAJI IKLAS!" Karena hanya dengan begitu mereka merasa aman.
Situasi Medan pada saat itu benar-benar lumpuh. Aktivitas masyarakat juga seperti mati. Toko, plasa, swalayan terpaksa tutup karena takut dengan aksi massa. Jalan-jalan sunyi, kendaraan pribadi menghindari jalanan, sedangkan kendaraan umum hanya ada satu-satu. Yang nekat.
Bukan hanya di Medan saja, daerah tingkat dua di Sumatra Utara umumnya juga mengalami keadaan yang sama. Puluhan toko dirusak, dibakar, dijarah, termasuk sejumlah mobil. Kota Pemat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar